Sunday, July 26, 2009

Learned to be a woman

Saya perempuan. Sudah dua puluh tahun lebih jadi seorang perempuan, tapi ternyata gaya saya belum perempuan banget. Paling nggak, itu komentar si pacar yang langsung gemas ingin mempermak saya. Radit yang sudah jadi sahabat saya sejak lama (bahkan sebelum kami pacaran), sudah sedari dulu gemas melihat gaya saya berpakaian. Kemana-mana jeans dan kemeja berkerah, kalau nggak, kaos polo berkerah. Padahal maksud saya berpakaian begitu biar ngirit he9x…karena setelah jeans dan kemeja itu juga jadi andalan kalau ke kampus. Jadi kalau belanja pakaian, gak perlu bertele-tele he9x…

Pas pacaran dengan Radit, dia langsung mengajukan permintaan ke saya untuk memanjangkan rambut. Sederhana, tapi sebenarnya syarat dia itu cukup berat untuk saya, karena sejak bocah rambut saya gak pernah panjang. Paling panjang sebahu. Trus, sekarang diminta memanjangkan rambut paling nggak sepunggung. OMG…waktu dia bilang gitu, rasanya saya mo loncat dari Monas.

Jadilah sejak Maret saya jadi rajin mengurus rambut, mulai dari rajin creambath sampai belajar pakai tonik setiap hari. Huu….ritual centil! Gara2 cream creambath, ritual keramas yang normalnya hanya 15 menitan, molor jadi setengah jam karena si cream gak mo berhenti berbusa, huff…

Penderitaan kedua, saya mulai belajar pakai gaun dan kemeja model cewek. Gara2nya Radit selalu terima undangan formal dari rekan sejawatnya, entah itu acara kawinan atau ngumpul biasa. Dan Radit paling malas datang kalau gak ditemani (dulu tugasnya Milly adiknya Radit yang temenin, sekarang diwariskan ke saya). Jadilah saya setengah mampus membujuk si Keke untuk menemani saya mencari gaun selutut lengkap dengan high heels (Ooooh…inang, mampus gw!). Keke ini sahabat saya di kampus yang sudah khatam urusan gaun, soalnya dia punya setumpuk gaun untuk ke gereja (walaupun blom sempat hunting mpe sekarang yak, hiks…)

Duar….kemarin malam itu, gala pertama saya ke acara resmi mendampingi Radit. Seorang rekannya, yang juga seorang dokter, menikah. Awkward banget karena saya paling malaaaaaas ke acara nikahan. Satu-satunya acara pernikahan yang saya hadiri dengan ikhlas adalah pernikahan sepupu saya tahun lalu. Karena acaranya dadakan, jadilah gaun si Milly (adiknya Radit) saya samber buat malam itu, lengkap dengan sepatunya.


Hiks…kalau melihat isi lemarinya Milly, seperti ngeliat isi butik. Isinya gaun semua, rata2 bermerek lagi. Mulai dari Zara, rancangan desainer sampai yang paling tokcer black dress Chanel warisan ibunya. Katanya gaun hitam itu hampir seumuran sama Milly, sudah lebih 15 tahun tapi tampilannya seperti gaun yang baru dibeli kemarin. Masih mulus mengkilat dan modelnya yang klasik gak lekang waktu.

Milly termasuk maniak dress dan baju feminim lainnya. Bukan hanya ke gereja saja, jalan di Mal pun setia dengan gaun. Sebenarnya saya berniat menampilkan foto isi lemari dan gaun-gaunnya Milly, he9x….tapi empunya keberatan (termasuk cocktail dress hitam yang dipinjamkan Milly ke saya malam itu, nanti yak guys kalau saya sudah punya gaun sendiri he9x…).

Lanjuuuuut…….heels! OMG…yang satu ini lebih parah lagi. Saya sampai harus berlatih jalan untuk memakainya. Sepatu saya memang setumpuk, tapiiii….flat semua, ada yang berhak pun hanya kitten heels. Kemarin itu saya pakai heelsnya si Milly merek Guess yang tingginya 7 cm. Katanya itu belum seberapa, Milly masih punya heels Nine West 12 cm. OMG…OMG…gimana makenya?

Moral of the story…jadi perempuan itu gak gampang gals! Ribet dan butuh modal. Entahlah, mungkin karena kebetulan perempuan yang saya kenal, Milly, termasuk anak jetset-nya Jakarta, jadi saya langsung minder sendiri liat koleksi pakaiannya. Karena seingat saya, sepupu saya Ira yang sudah bekerja pun, koleksi pakaian dan sepatunya masih kalah dengan Milly yang baru seusia adik kandung saya.

Tapi thanks to Milly, koleksi pakaian, sepatu dan kosmetiknya bikin saya nyadar, kalau saya termasuk telat untuk mulai jadi ‘perempuan’. Tapi gak apalah, telat daripada gak sama sekali. Thanks juga tuk Radit yang selalu meng-encourage saya menjadi lebih feminim.

Untuk semua laki-laki di seluruh penjuru dunia, being beauty is not that easy. It’s easier mengganti ban mobil sendiri atau ngangkat air ngisi penampungan berember-ember (believe me, I’ve done those!) daripada pakai heels 7 cm atau manjangin rambut sampai berbulan-bulan. it’s more than just an effort, it's deeper than that.

Dan untuk semua perempuan anti feminis yang selalu berpikir kalau perempuan yang berdandan itu tidak berotak. You’re absolutely wrong, ladies! Being beauty need more than a brain, you should have a talent and good taste.

Lagipula, siapa bilang berdandan itu hanya untuk menyenangkan orang lain (baca: laki-laki)? Berpakaian dengan pantas dan cantik adalah bentuk apresiasi terhadap diri sendiri, it’s a personal pride. I know, inner beauty is always important. But, appearance is the first impression. It’s not always about man, dalam banyak hal, bukankah lebih baik apabila kecantikan luar dan dalam dapat seiring sejalan?

He9x…..be grateful being a woman. It’s not easy, but it’s a gift!


No comments: