Friday, June 12, 2009

Tentang Perbedaan


Kemarin saya membaca tulisan Mbak AnaBabi di blognya. Tulisannya menarik sekali, mengenai hubungan yang dibangun di antara perbedaan. Agama.

Sejujurnya, saya ragu membahasnya karena masalah agama selalu menjadi hal paling sensitif untuk dibahas, wacana yang mampu memancing kontroversi. Tapi tulisan Mbak AnaBabi menginspirasi saya untuk berbagi cerita tentang perbedaan yang sedang saya hadapi sekarang.

Saya dan Diko sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan yang ada di antara kami. Tapi, bukan Indonesia namanya kalau tidak ada bisik-bisik tetangga mengenai apa yang sedang kami jalani. Padahal kalau dipikir, kami hidup di Jakarta yang notabene cukup moderen dan heterogen. Namun, hubungan kami masih dipandang sebelah mata. Bahkan oleh beberapa teman-teman di lingkungan sosial saya dan Diko.

Padahal tidak pernah menjadi masalah bagi Diko ketika harus menunggui saya menyelesaikan kewajiban 5 waktu di sela-sela kebersamaan kami, dan saya bersikap toleran pula kepadanya ketika di akhir pekan dia harus ke gereja.

Sejujurnya, sebagai anak rantau yang terbiasa dengan kukungan adat, ini pertama kalinya saya melangkahi aturan. Berbeda dengan Diko yang dibesarkan dalam keluarga heterogen, ayah seorang nasrani dan ibu yang seorang muslim. Walaupun akhirnya Diko dan adik-adiknya menganut keyakinan sang ayah, namun sedikit banyak dia memiliki wawasan mengenai keyakinan ibunya. Sehingga ketika menghadapi lingkungan yang menentang perbedaan yang kami miliki, Diko tidak gentar. Wacana perbedaan bukan hal baru baginya. Diko menerima dan menghormati perbedaan, begitu pula dengan keluarganya.

Saya menghormati apa yang Diko yakini, begitu pula Diko kepada saya. Diko seorang nasrani yang taat, yang tidak pernah melewatkan waktu ibadahnya sesibuk apapun dia, sepagi apapun dia pulang dari jaga di RS. Saya tahu pula kalau di laci mobil dan ranselnya selalu tersimpan bible agar setiap saat dia bisa singgah kepada-Nya ketika dia ingin bercerita.

Ber-ibu-kan seorang muslim membuat dia mengerti saya yang memiliki kewajiban 5 waktu sehingga dia tidak pernah lalai menelepon untuk mengingatkan saya shalat. Bahkan ketika saya harus menjalani puasa nazar, Diko menyiapkan buka puasa untuk saya.

Walaupun saya dan Diko mampu menerima bahwa kami sama meyakini-Nya dengan cara yang berbeda, namun keluarga dan ketentuan mutlak sebagai seorang muslim membuat hati saya terkadang gentar dan menangis. Saya tidak akan mampu memilih.

Diko belum pernah menyinggung wacana mengenai hal yang lebih serius daripada yang kami jalani sekarang. Namun, saya sadar, suatu hari nanti, harus ada yang mengalah atau ini semua harus diakhiri sama sekali. Entahlah. Kami bukan Titi Kamal dan Christian Sugiono, atau Angelina Sondakh dan Adjie Massaid. Wacana itu masih jauh dari kami berdua.

Mungkin yang paling baik untuk kami sekarang adalah menjalankan jargon yang saya contek dari tulisannya Mbak AnaBabi: Jalanin aja dulu….

Yang penting, saya lega sudah menuliskan ini. Saya lega membiarkan teman-teman tahu, bahwa saya dan Diko mampu saling toleransi dan beradaptasi dengan perbedaan yang kami miliki. Bahwa perbedaan bukanlah masalah untuk kami. Yang terpenting pula, saya lega menyiarkan kepada semuanya bahwa kami baik-baik saja….

Hm…^^

1 comment:

semuasayanganna said...

..dan saya kembali terjebak dalam hubungan "berbeda" (lagi)..

:)