Friday, February 19, 2010

Our Story from Phnom Penh

previous :
Between Saigon and Phnom Penh

Rencana awal, kami hanya akan menjadikan Phnom Penh (PP) sebagai kota persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan menuju Siem Reap. Apalagi setelah membaca informasi di internet, tidak pernah disebutkan sebelumnya mengenai objek wisata yang recommended untuk dikunjungi di PP. Namun,
Royal Palace kemudian mengubah pandangan kami tentang PP.


Tuk-Tuk, taxi ala Kamboja

Setelah perjalanan panjang selama kurang lebih 6 jam dari Ho Chi Minh City (HCMC), bus Samco yang membawa kami tiba di PP sekitar pukul 22.00 dan menurunkan kami di Olympic Stadium PP. Dengan menggunakan tuk-tuk kami segera menuju hotel yang telah kami booked sebelumnya via www.travellerspoint.com. Dikatakan di website bahwa hotel kami : Phnom Penh City Hotel terletak di tengah2 PP. Namun, setelah bertemu dengan Hadas-seorang Israel yang telah lama berdomisili di HCMC dan PP-kami baru menyadari bahwa hotel kami itu tidak terletak di daerah backpackers. Daerah turis di PP terletak di sebelah timur sepanjang sungai dan dekat dengan Royal Palace. Kami sempat pula berbincang dengan orang lokal Kamboja yang berdomisili di PP, yang mengatakan bahwa PP sama sekali bukan daerah turis sehingga tidak cukup aman berjalan-jalan hingga larut, seperti yang bisa kami lakukan di HCMC.


Keesokan paginya, kesan PP sebagai kota non-turis pun makin terasa karena ketika kami berjalan-jalan di tengah kota dengan setelah turis (
shirt-short pants-sunglasses), orang di jalan memandangi kami dengan aneh. Mungkin karena setelan mereka sendiri sopan sekali. Di PP kami mendapati anak muda maupun orang dewasa kebanyakan bersetelan kemeja putih dengan bawahan rok panjang atau celana kain berwarna hitam. Pemuka agama (biksu) pun dapat dengan mudah ditemui di jalan.


Kami memesan tiket bus pukul.13.00 menuju Seam Reap seharga 9 USD/orang dan memutuskan berkunjung ke
Royal Palace atas rekomendasi perempuan muda penjaga hotel dengan bahasa Inggris yang payah sekali. Hal ini yang menjadi kesulitan kami selama di PP, kebanyakan orang tidak mampu berbahasa Inggris. Kalaupun ada, itupun dengan aksen yang sulit dimengerti. Kami menyewa tuk-tuk seharga 2,5 USD untuk jarak yang dekat sekali. Sebenarnya salah kami juga karena tidak memiliki peta kota PP, karena mengira akan mudah menemukannya di hotel atau tourism information. Namun, nyatanya kami hanya mengandalkan peta minim yang diberikan oleh hotel.


The Royal Palace


Namun, semuanya terbayar ketika kami memasuki kompleks
The Royal Palace yang sangat megah. Untuk memasuki Royal Palace, selain harus membayar 25.000 Riel (6,5 USD), pengunjung juga diharuskan memakai pakaian yang rapi dan sopan dan beberapa aturan lainnya.



Walaupun tidak terlalu luas, namun kami menghabiskan waktu cukup lama untuk berfoto dan mengelilingi Royal Palace. Pengunjungnya sedikit sekali, itupun kebanyakan turis2 tua berumur dengan
luxury tour. Kebanyakan dari Perancis dan Jepang. Mereka bahkan menggunakan guide tour dengan bahasa Perancis dan Jepang. Jarang terlihat turis muda backpacker berkulit putih seperti yang biasanya lazim memenuhi tempat2 wisata.

Tempat lain yang kami kunjungi berikutnya adalah National Museum yang berada tepat di sebelah Royal Palace.


Setelah itu, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sungai yang terkenal sebagai kawasan backpacker di PP. Namun, minim sekali guest house maupun hostel yang dapat ditemui di sekitar sana. Tidak banyak pula wisatawan kulit putih yang biasanya mendominasi dunia per-backpacker-an lalu lalang di sekitar tempat itu.


Namun beruntung, karena kami menemukan restoran halal untuk menjadi tempat makan siang di sekitar tempat itu, yang dimiliki oleh duo Indonesia yang telah 13 tahun menetap di PP. Kami sempat mengobrol dan mengetahui kemudian bahwa banyak orang Indonesia yang menduduki posisi penting di PP. Seorang Indonesia asal Bali bahkan menjadi pimpinan sebuah bank yang cukup bonafid di PP.


Setelah menyelesaikan makan siang ala Indonesia, kami pun bergegas menuju hotel dengan menumpang tuk-tuk dengan harga yang telah disepakati yaitu 2 USD. Namun, lagi2 kami tidak beruntung dengan transportasi. Tuk-tuk kami berputar-putar tak jelas menjadi lebih jauh dari hotel dan bahkan dari Independent Monument yang kami jadikan patokan. Diajak berkomunikasi pun, sang
driver tuk-tuk tidak mengerti. Jadilah kami berkeliling tak jelas selama setengah jam dan bertanya kepada orang2 di jalan yang bisa berbahasa Inggris untuk menjelaskan tujuan kami kepada driver tuk-tuk. Pengalaman buruk dengan tuk-tuk ini mengakibatkan kami tertinggal bus ke Seam Reap dan harus membayar 11 USD lagi untuk menumpang bus pukul 14.00 karena tiket bus kami sebelumnya dinyatakan hangus.

Untuk perjalanan ke Seam Reap, kami menggunakan bus Mekong Ekspress yang merupakan perusahaan bus tertua dan terkenal di Vietnam dan Kamboja. Busnya tua dengan tempat duduk yang lebih sempit dari bus Samco (Saigon-PP), namun fasilitasnya cukup baik karena memiliki WC dan bagasi kami terurus secara rapi. Kami memperoleh tissue basah, air mineral dan bahkan sekotak makanan berisi roti daging. Bus juga menyediakan pemandu yang memberikan informasi mengenai lama perjalanan, tempat pemberhentian dan daerah2 yang dilalui bus menggunakan bahasa Inggris dan Kamboja.


Perjalanan menuju Seam Reap sekitar 6 jam dengan 1 kali pemberhentian, yaitu di Kampung Thom-sekitar 2 jam dari PP. Kami sangat terkejut menemukan monumen ini di Kampung Thom.


Sekedar catatan, Kamboja menggunakan 2 mata uang untuk melakukan transaksi, yaitu USD dan Riel (mata uang Kamboja). 1 USD setara dengan 4000 Riel. Namun, anehnya dalam transaksi sangat memungkinkan kita membayar dengan USD namun memperoleh kembalian dalam bentuk Riel. Maka, akan sangat menguntungkan apabila berkunjung ke Kamboja dan membawa mata uang USD.

-pictures courtesy of Irwan Kadir using Canon EOS D1000-

next :
1. Angkor Wat - Siem Reap Cambodia
2. Long Way Journey from Siem Reap to Bangkok
3. Backpacking in Bangkok - Thailand

3 comments:

Mila Said said...

Pertamax!

eh iya ga siy? hehee...

Waaah.. brarti wkt itu kita beruntung bgt ketemu sama supir tuk-tuk So Marly, bahasa inggris nya lumayan banget.malahan dia sok2 an jadi tour guide, sambil ngejelasin bangunan-bangunan yg kita lewatin, sambil nyetir tuk-tuk, kepalanya nengok2 kebelakang, ngomongnya muncrat2.. dan kita penumpangnya cuman mesem2 ngeri takut dia nabrak huahahahaa..

tapi emang siy naik tuk-tuk disana mahal, tp sblmnya klo aq nanya dulu standar harga sama org hotel nya.. ratenya tuk-tuk klo mo keliling2 PP seharian itu ga lebih dr USD 12 satu tuk-tuk nya.

nando.gino said...

nanya donk itu restoran yg warung bali harganya berapaan n di mananya ya ?

Fadila Pratika said...

@mbak mila : huhuhu....kurang research sih gw waktu ke PP,mikirnya cuma singgah doang sebelum ke seam reap.cm krn gak mau rugi ajah itu jd ke keliling2,eh ternyata hampir nyesel krn Royal Palace-nya amazing.
kamboja mah'semuanya mahallll....gitulah gara2 pake USD segala,gaya pisan euy :)

@Nando.Gino : Resto Bali itu lokasinya di River-Front daerah backpackernya PP.harga...hmmm kalo untuk backpacker kayak gw mahal yah,waktu itu untuk berdua habis 70rb-an,2 jenis makanan + nasi + minum u/2 org :) tp pemiliknya baik banget,ramah.mereka nemenin kita makan sambil ngobrol2 :)